Perspektif Netralitas PNS Tangsel

Perspektif Netralitas PNS Tangsel

detakbanten.com  - Menteri Pedayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB) Yuddy Chrisnandi telah mengeluarkan Surat Edaran nomor B/2355/M.PANRB/07/2015 tanggal 22 Juli 2015 lalu. Dalam surat itu ditegaskan bahwa seluruh Aparatur Sipil Negara (ASN) harus bersikap netral dalam pilkada. Pilkada serentak tahun 2015 akan dilaksanakan pada 9 Desember di 269 daerah yang mencakup provinsi, dan kabupaten/kota.

Pelaksanaan pemilu kepala daerah (Pilkada) serentak pada akhir tahun ini diyakini akan kembali diwarnai sejumlah pelanggaran. Adapun pelanggaran yang diyakini akan banyak terjadi adalah tidak netralnya Pegawai Negeri Sipil (PNS) karena memihak atau membantu pasangan calon kepala daerah tertentu.

Pilkada Watch telah melakukan penelitian singkat di beberapa daerah terkait netralitas PNS dalam pelaksanaan pilkada. Hasilnya, banyak laporan dari masyarakat mengenai calon kepala daerah, khususnya calon petahana, yang melakukan mobilisasi PNS untuk menggerakkan pemilih atau menggunakan fasilitas pemerintahan untuk kegiatan persiapan menghadapi pilkada. Modusnya memanfaatkan jaringan kepala desa atau Lurah untuk mobilisasi pemilih. Memanfaatkan SKPD atau perangkat lain untuk memberikan dukungan secara langsung atau tidak langsung.

Kepala Bagian Analisis Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Faisal Rahman mengatakan, politisasi PNS dalam pemilu biasanya dilakukan dari berbagai sisi. Politisasi PNS bukan hanya untuk mendapat dukungan, tapi juga bisa dimanfaatkan agar PNS tidak memilih calon tertentu. Politisasi itu tidak hanya dilakukan calon incumbent (petahana), tapi bisa juga dilakukan calon lainnya.

Pelaksana Tugas (Plt) Sekretaris Daerah (Sekda) Pemkot Tangerang Selatan (Tangsel) Drs Muhammad Msi mengimbau PNS dan TKS yang bertugas di lingkup pemerintah daerah setempat tak terlibat dalam politik praktis. PNS, wajib netral dalam Pemilu Kepala Daerah (Pilkada) yang akan dilaksanakan 9 Desember 2015 nanti. Terlebih, Walikota dan Wakil Walikota , Airin Rachmi Diany dan Benyamin Davnie kembali maju dalam pesta demokrasi lima tahunan ini. Dalam undang-undang Pilkada, Undang-undang PNS dan ASN (Aparatur Sipil negara) sudah jelas disebutkan. Itu menjadi sumpah PNS yang lebih dari apa pun. Memberhentikan PNS yang dianggap tidak loyal kepada dirinya menjadi dilema buat PNS untuk menegakkan netralitasnya sebagai abdi negara sekaligus abdi masyarakat.

Pilkada langsung berkonsekuensi terhadap birokrasi (PNS) dalam memposisikan dirinya ketika berhubungan dengan politik. Di satu sisi, PNS harus bersikap netral. Di lain sisi, PNS dihadapkan pada kekuatan poliitik yang kuat pengaruhnya terhadap netralitas PNS. Situasi ini memposisikan PNS dalam situasi yang dilematis untuk tetap bersikap netral atau sebaliknya. Keterlibatan PNS dalam mendukung peserta pilkada memberikan kontribusi terhadap fragmentasi dan friksi politik internal dan terganggunya pelayanan publik. Dengan sistem Pilkada langsung, posisi PNS pun akhirnya menjadi tersandera oleh seremoni politik Pilkada. PNS seolah diposisikan harus memilih apakah tetap netral dan tidak berpihak kepada kepala daerah (incumbent) yang menjadi calon peserta Pilkada, ataukah PNS harus terlibat dalam politik praktis dengan mendukung calon tertentu.

Idealnya kewenangan pembinaan terhadap PNS tidak ditangan pejabat politik (gubernur, bupati dan walikota), tapi harus dilakukan oleh pejabat karir, dalam hal ini Sekretaris Daerah atau Baperjakat.Hal ini penting untuk lebih menjaga netralitas PNS sebagai institusi non politik (birokrasi), maka pejabat Pembina-nya harus bukan dari pejabat politik.

Kedudukan PNS adalah "NETRAL"

Dalam rangka mencapai tujuan nasional sebagaimana tercantum dalam alinea ke-4 Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), diperlukan ASN yang profesional, bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, mampu menyelenggarakan pelayanan publik bagi masyarakat dan mampu menjalankan peran sebagai perekat persatuan dan kesatuan bangsa berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Tujuan nasional seperti tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Dalam upaya menjaga netralitas ASN dari pengaruh partai politik dan untuk menjamin keutuhan, kekompakan, dan persatuan ASN, serta dapat memusatkan segala perhatian, pikiran, dan tenaga pada tugas yang dibebankan, ASN dilarang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik. Demikian penggalan Penjelasan UU No. 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara diawali dengan dasar politik (keinginan) hukum negara terhadap cita-cita bangsa atas aparaturnya yaitu PNS dan saat ini bernama ASN. Penjelasan ini menjadi dasar filosofi sekaligus yuridis terhadap keberadaan ASN sebagaimana diatur dalam UU tersebut. Penjelasan Pasal 2 Huruf f juga menyatakan "Yang dimaksud dengan "asas netralitas" adalah bahwa setiap Pegawai ASN tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan siapapun.

PP No 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS Pasal 4 "Setiap PNS dilarang : angka 15 "memberikan dukungan kepada calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, dengan cara : a. terlibat dalam kegiatan kampanye untuk mendukung calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah; b. menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatan dalam kegiatan kampanye; c. membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye; dan/atau d. mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap pasangan calon yang menjadi peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye meliputi pertemuan, ajakan, himbauan, seruan, atau pemberian barang kepada PNS dalam lingkungan kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat.

Sebagaimana dijelaskan dalam PP No 53 Tahun 2010, bahwa setiap Pegawai Negeri Sipil (PNS) harus menjaga netralitas dalam pemilu, seperti tidak boleh menjadi tim sukses, tim kampanye, atau hanya ucapan dukungan terhadap calon kepala daerah yang akan ikut dalam pemilihan kepala daerah. Peraturan pemerintah di atas menjadi ketetapan dan dasar hukum bahwa seorang PNS sama sekali tidak diberikan wewenang dan hak untuk ikut dalam kegiatan kampanye dan ikut menjadi tim sukses maupun aktif dalam memberikan dan mencari dukungan terhadap calon yang akan berlaga dalam pemilu. Dan apabila ada pihak yang melakukan pelanggaran maka sanksinya bisa berupa pemberhentian dari kedinasan.

Namun demikian, ada kalanya peraturan pemerintah yang tertuang dalam PP No 53 Tahun 2010 ternyata harus terkendala dengan kewenangan kepala daerah selaku pemegang kekuasaan di tingkat daerah yang secara dejure berhak memberikan kebijakan yang terkadang jauh dari rasa keadilan dan penuh dengan unsur diskriminatif, di mana ketika melakukan mutasi terkesan tebang pilih dan hanya memutasi orang-orang yang tidak seide dan berseberangan ketika proses pencalonan dirinya. Kenyataan inilah yang menjadikan PNS seperti terintimidasi antara hak untuk tidak mendukung salah satu calon atau menentang kebijakan yang akibatnya akan menggeser posisi atau jabatan tertentu dalam kedinasan. Meskipun kadang kala justru ada sebagian PNS yang secara nyata dan sengaja menjadi tim sukses dari salah satu calon mengingat ada kepentingan politis dari masing-masing pemilik kepentingan tersebut, misalnya karena menginginkan jabatan yang lebih baik atau sekedar mutasi jabatan yang lebih tinggi.

Kondisi ini memang cukup memprihatinkan tatkala kita menghendaki pemilu yang bersih, luber, jujur dan adil ternyata harus dikotori kepentingan orang-orang tertentu yang melegalkan segala macam cara demi kemenangan semu dan tidak mewakili aspirasi rakyat yang benar-benar utuh akan tetapi aspirasi yang muncul karena keterpaksaan secara sistematis. Meskipun ada di antara pegawai yang tertangkap karena melanggar kode etik PNS tersebut ternyata memang masih belum diberikan tindakan yang sepatutnya lantaran karena memang dalam kode etik ada tahapan hukuman yang mesti didapatkan sehingga menjadi celah bagi pejabat / pegawai yang ingin bermain dalam politik yang tidak beradab sehingga para pelakunya masih melenggang bebas meskipun telah melakukan pelanggaran secara hukum.

Namun demikian segala macam kebijakan yang dinilai melanggar PP No 53 tahun 2010 semestinya tetap dicermati dan diawasi oleh seluruh rakyat Indonesia sehingga secara langsung masyarakat ikut andil dalam menciptakan iklim demokrasi yang benar-benar bersih dan adil serta mewakili kepentingan masyarakat.

Penutup

Walaupun sudah disebutkan sebelumnya untuk menjadi seorang PNS yang netral dalam memilih itu sangat sulit, namun bukan hal yang tidak mungkin dilakukan. PNS itu sendiri dimana sesuai dengan sumpahnya ketika dilantik sebagai PNS dan/atau pejabat harus melaksanakan kewajiban sebaik-baiknya sebagai PNS/pejabat dengan mengutamakan kepentingan negara di atas golongan, termasuk golongan politik tertentu.

Masalah jabatan seharusnya diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme yang ada. Bahwa seorang yang dipromosikan untuk menduduki sebuah jabatan telah melalui serangkaian sistem yang harus dilakukan seperti kesesuaian pangkat dan golongan serta kecakapan dalam berkinerja. Jabatan berkaitan dengan serangkaian pekerjaan yang akan dilakukan dan persyaratan yang diperlukan untuk melakukan tugas tersebut dan kondisi lingkungan di mana pekerjaan tersebut dilakukan. Jadi bagaimana bentuk netralisasi sesungguhnya? Pesimis adalah perbuatan yang tidak boleh dilakukan. Keinginan untuk berubah kearah yang lebih baik harus dijadikan langkah awal. Kesalahan dalam memilih seorang pemimpin adalah awal kehancuran bersama, untuk itu maukah kita menjadi seorang PNS yang berpikir pintar dan cerdas untuk tidak salah memilih seorang pemimpin sesuai hati sanubari dan berbukti untuk masyarakat.

 

 

Go to top