Inilah Tulisan Lengkap, Cerita Busuk dari Seorang Bandit dan Enam Keanehan

Inilah Tulisan Lengkap, Cerita Busuk dari Seorang Bandit dan Enam Keanehan

detakbanten.com - Cerita yang disusun ini adalah fakta peristiwa. Bertujuan untuk membuktikan bahwa pelaksanaan hukuman mati yang didukung dengan keterlibatan instansi-instansi negara dalam bisnis obat-obat terlarang adalah sesuatu yang benar, namun tidak pernah terusut.

Negara bersalah apabila eksekusi mati kepada 14 orang malam ini dan selanjutnya tetap dilakukan, tanpa ada sistem koreksi total di dalam tubuh badan-badan keamanan di Indonesia. Silakan sebarkan!! ***

Cerita Busuk dari seorang Bandit

Kesaksian bertemu Freddy Budiman di Lapas Nusa Kambangan (2014)

Ditengah proses persiapan eksekusi hukuman mati yang ketiga dibawah pemerintahan Joko Widodo, saya menyakini bahwa pelaksanaan ini hanya untuk ugal-ugalan popularitas. Bukan karena upaya keadilan. Hukum yang seharusnya bisa bekerja secra komprehensif menyeluruh dalam menanggulangi kejahatan ternyata hanya mimpi.

Kasus Penyeludupan Narkoba yang dilakukan Freddy Budiman, sangat menarik disimak, dari sisi kelemahan hukum, sebagaimana yang saya sampaikan dibawah ini.

Di tengah-tengah masa kampanye Pilpres 2014 dan kesibukan saya berpartisipasi memberikan pendidikan HAM di masyarakat di masa kampanye pilpres tersebut, saya memperoleh undangan dari sebuah organisasi gereja. Lembaga ini aktif melakukan pendampingan rohani di Lapas Nusa Kambangan (NK).

Melalui undangan gereja ini, saya jadi berkesempatan bertemu dengan sejumlah narapidana dari kasus teroris, korban kasus rekayasa yang dipidana hukuman mati. Antara lain saya bertemu dengan John Refra alias John Kei, juga Freddy Budiman, terpidana mati kasus Narkoba. Kemudian saya juga sempat bertemu Rodrigo Gularte, narapidana WN Brasil yang dieksekusi pada gelombang kedua (April 2015).

Saya patut berterima kasih pada Bapak Sitinjak, Kepala Lapas NK (saat itu), yang memberikan kesempatan bisa berbicara dengannya dan bertukar pikiran soal kerja-kerjanya.

Menurut saya Pak Sitinjak sangat tegas dan disiplin dalam mengelola penjara. Bersama stafnya beliau melakukan sweeping dan pemantauan terhadap penjara dan narapidana. Pak Sitinjak hampir setiap hari memerintahkan jajarannya melakukan sweeping kepemilikan HP dan senjata tajam. Bahkan saya melihat sendiri hasil sweeping tersebut, ditemukan banyak sekali HP dan sejumlah senjata tajam. Tetapi malang Pak Sitinjak, di tengah kerja kerasnya membangun integritas penjara yang dipimpinnya, termasuk memasang dua kamera selama 24 jam memonitor Freddy budiman.

Beliau menceritakan sendiri, beliau pernah beberapa kali diminta pejabat BNN yang sering berkunjung ke Nusa Kambangan, agar mencabut dua kamera yang mengawasi Freddy Budiman tersebut. Saya menganggap ini aneh, hingga muncul pertanyaan, kenapa pihak BNN berkeberatan adanya kamera yang mengawasi Freddy Budiman? Bukankah status Freddy Budiman sebagai penjahat kelas "kakap" justru harus diawasi secara ketat? Pertanyaan saya ini terjawab oleh cerita dan kesaksian Freddy Budiman sendiri.

Menurut ibu pelayan rohani yang mengajak saya ke NK, Freddy Budiman memang berkeinginan bertemu dan berbicara langsung dengan saya. Pada hari itu menjelang siang, di sebuah ruangan yang diawasi oleh Pak Sitinjak, dua pelayan gereja, dan John Kei, Freddy Budiman bercerita hampir 2 jam, tentang apa yang ia alami, dan kejahatan apa yang ia lakukan.

Freddy Budiman mengatakan kurang lebih begini pada saya: "Pak Haris, saya bukan orang yang takut mati, saya siap dihukum mati karena kejahatan saya, saya tahu, resiko kejahatan yang saya lakukan. Tetapi saya juga kecewa dengan para pejabat dan penegak hukumnya. Saya bukan bandar, saya adalah operator penyeludupan narkoba skala besar, saya memiliki bos yang tidak ada di Indonesia. Dia (Boss saya) ada di Cina. Kalau saya ingin menyeludupkan narkoba, saya tentunya acarain (atur) itu, saya telepon polisi, BNN, Bea Cukai dan orang-orang yang saya telpon itu semuanya nitip (menitip harga).

Menurut Pak Haris berapa harga narkoba yang saya jual di Jakarta yang pasarannya 200.000 – 300.000 itu?" Saya menjawab 50.000. Fredi langsung menjawab: "Salah. Harganya hanya 5000 perak keluar dari pabrik di Cina, makanya saya tidak pernah takut jika ada yang nitip harga ke saya.

Ketika saya telepon si pihak tertentu ada yang nitip Rp 10.000 per butir, ada yang nitip 30.000 per butir, dan itu saya tidak pernah bilang tidak, selalu saya okekan. Kenapa Pak Haris?" Fredy menjawab sendiri. "Karena saya bisa dapat per butir 200.000, jadi kalau hanya membagi rejeki 10.000- 30.000 ke masing-masing pihak di dalam institusi tertentu, itu tidak ada masalah. Saya hanya butuh 10 Miliar, barang saya datang. Dari keuntungan penjualan, saya bisa bagi-bagi puluhan miliar ke sejumlah pejabat di institusi tertentu."

Fredy melanjutkan ceritanya. "Para polisi ini juga menunjukkan sikap main di berbagai kaki. Ketika saya bawa itu barang, saya ditangkap. Ketika saya ditangkap, barang saya disita. Tapi dari informan saya, bahan dari sitaan itu juga dijual bebas, saya jadi dipertanyakan oleh Bos saya (yang di Cina). Katanya udah deal sama polisi, tapi kenapa lo ditangkap? Udah gitu kalau ditangkap kenapa barangnya beredar? Ini yang main polisi atau lo?'"

Menurut Freddy, "Saya tau pak, setiap pabrik yang bikin narkoba, punya ciri masing-masing, mulai bentuk, warna, rasa. Jadi kalau barang saya dijual, saya tahu, dan itu temukan oleh jaringan saya di lapangan."

Fredi melanjutkan lagi. "Dan kenapa hanya saya yang dibongkar? Kemana orang-orang itu. Dalam hitungan saya selama beberapa tahun kerja menyeludupkan narkoba, saya sudah memberi uang 450 Miliar ke BNN. Saya sudah kasih 90 Milyar ke pejabat tertentu di Mabes Polri. Bahkan saya menggunakan fasilitas mobil TNI bintang 2, di mana si jendral duduk di samping saya ketika saya menyetir mobil tersebut dari Medan sampai Jakarta dengan kondisi di bagian belakang penuh barang narkoba. Perjalanan saya aman tanpa gangguan apapun."

Saya prihatin dengan pejabat yang seperti ini. Ketika saya ditangkap, saya diminta untuk mengaku dan menceritakan dimana dan siapa bandarnya, saya bilang, investor saya anak salah satu pejabat tinggi di Korea (saya kurang paham, korut apa korsel- HA), saya siap nunjukkin dimana pabriknya, dan saya pun berangkat dengan petugas BNN (tidak jelas satu atau dua orang). Kami pergi ke Cina sampai ke depan pabriknya. Lalu saya bilang kepada petugas BNN, mau ngapain lagi sekarang? Dan akhirnya mereka tidak tahu, sehingga kami pun kembali. Saya selalu kooperatif dengan petugas penegak hukum. Kalau ingin bongkar, ayo bongkar. Tapi kooperatif-nya saya dimanfaatkan oleh mereka. Waktu saya dikatakan kabur, sebetulnya saya bukan kabur, ketika di tahanan, saya didatangi polisi dan ditawari kabur, padahal saya tidak ingin kabur, karena dari dalam penjara pun saya bisa mengendalikan bisnis saya. Tapi saya tahu polisi tersebut butuh uang, jadi saya terima aja. Tapi saya bilang ke dia kalau saya tidak punya uang. Lalu polisi itu mencari pinjaman uang kira-kira 1 Miliar dari harga yang disepakati 2 Miliar. Lalu saya pun keluar. Ketika saya keluar, saya berikan janji setengahnya lagi yang saya bayar. Tapi beberapa hari kemudian saya ditangkap lagi. Saya paham bahwa saya ditangkap lagi, karena dari awal saya paham dia hanya akan memeras saya." Freddy juga mengekspresikan bahwa dia kasihan dan tidak terima jika orang-orang kecil, seperti supir truk yang membawa kontainer narkoba yang justru dihukum, bukan si petinggi-petinggi yang melindungi.

Kemudian saya bertanya ke Freddy dimana saya bisa dapat cerita ini? Kenapa anda tidak bongkar cerita ini? Lalu freddy menjawab: "Saya sudah cerita ke lawyer saya, kalau saya mau bongkar, ke siapa? Makanya saya penting ketemu Pak Haris, biar Pak Haris bisa menceritakan ke publik luas, saya siap dihukum mati, tapi saya prihatin dengan kondisi penegak hukum saat ini. Coba Pak Haris baca saja di pledoi saya di pengadilan, seperti saya sampaikan di sana."

Lalu saya pun mencari pledoi Freddy Budiman, tetapi pledoi tersebut tidak ada di website Mahkamah Agung, yang ada hanya putusan yang tercantum di website tersebut. Dalam putusan tersebut juga tidak mencantumkan informasi yang disampaikan Freddy, yaitu adanya keterlibatan aparat negara dalam kasusnya.

Kami di KontraS mencoba mencari kontak pengacara Freddy, tetapi menariknya, dengan begitu kayanya informasi di internet, tidak ada satu pun informasi yang mencantumkan dimana dan siapa pengacara Freddy. Dan kami gagal menemui pengacara Freddy untuk mencari informasi yang disampaikan, apakah masuk ke berkas Freddy Budiman sehingga bisa kami mintakan informasi perkembangan kasus tersebut. Haris Azhar (2016).

6 Keanehan Pengakuan Freddy

Sementar itu, Mantan Deputi Bidang Pemberantasan Badan Nasional Narkotika (BNN) Irjen (Purn) Benny Mamoto menilai, ada enam kejanggalan di balik cerita tereksekusi mati, Freddy Budiman.

Menurut dia, tulisan berjudul Cerita Busuk dari Seorang Bandit yang diekspos oleh Koordinator KontraS, Haris Azhar itu, harus diuji kebenarannya.

Pertama, Benny memandang, mengapa tulisan Haris tersebut baru diekspos setelah sumber utamanya, Freddy Budiman dieksekusi mati. Haris menimbulkan polemik di tengah-tengah masyarakat, sedangkan polisi tidak bisa mencari tahu kebenarannya lantaran Freddy sudah tewas.

"Kenapa tidak sebelumnya diekspos. Dia (Haris) katanya tahu itu 2014, sementara sudah lama Freddy isunya dieksekusi mati‎. Freddy itu sudah tidak bisa dikonfirmasi. Kalau Freddy masih hidup mungkin bisa diselidiki," kata Benny.

Kedua, dalam tulisan Haris, dia mengaku, tidak bisa mencari pengacara Freddy dan tidak menemukan isi pledoi pengadilan. Menurut Benny, Haris seakan memudahkan hal yang tidak mungkin disembunyikan dalam pengadilan.

"Coba pelajari tulisannya di alinea-alinea terakhir. Itu tulisannya dia coba cari pledoi tidak dapat, coba cari lawyer tidak dapat. Nah sementara kalau di dalam PK (peninjauan kembali) ada lawyernya. Kalau benar si Freddy sudah mengucapkan pasti ada di dalam plaidoi. Masak sekelas KontraS, tidak bisa mencari pengacara. Kemudian kalau sudah dibacakan di dalam sidang itu pasti sudah geger media mem-blow up informasinya," beber Haris.

Ketiga, kata dia, saat hendak dikonfirmasi kepada Haris terkait kebenaran tulisan tersebut, pihak Mabes Polri tidak menemukan jawaban yang tepat. Kapolri Jenderal Tito Karnavian sendiri mengutus Kadiv Humas Polri Irjen Boy Rafli untuk menyelami kebenaran tulisan Haris.

"Saya juga mengapresiasi Kapolri karena cepat tanggap dengan mengutus Pak Boy. Tapi jawabannya "Saya kan hanya menyampaikan pesan bahwa ada keterlibatan aparat". Jadi kami harus bagaimana kalau sudah begini. Kami harus tanya mayat," ujar Benny.

Keempat, Benny menilai, Polri tidak punya kewenangan dalam mengeksekusi mati seseorang. Sehingga, tulisan Haris yang menyatakan Polri membungkam Freddy tidak tepat.

"Dibilangnya gara-gara hukuman mati malah dituduh Polri membungkam Freddy. Padahal dari dulu isunya Fredi sudah mau dihukum mati. Eksekutornya juga Kejagung. Kami tidak tahu apa-apa, dieksekusi karena keputusan Kejagung, tiba-tiba Polri dibilang membungkam," terang dia.

Kelima, Benny memandang, ucapan seorang pengguna narkoba tidak bisa dipegang sepenuhnya. Apalagi, kata dia, Fredi merupakan pengguna kelas berat, yang fungsi otaknya tidak bekerja dengan baik.

"Jelas ngomongnya ngaco karena dia pemakai berat. Saya sudah memeriksa banyak orang dari sipil, kolonel, danlanal. Kalau diperiksa ya ngomongnya ngaco. Padahal kalau mungkin informasi tersebut terkuak saat Freddy hidup dan dia tidak pakai narkoba mungkin bobot kebenaran dari yang disebutkan tadi itu bisa diselidiki," jelasnya.

Keenam, pria yang sering kali menangani sepak terjang Freddy ini, juga menampik bahwa BNN tidak pernah membawa Freddy ke Tiongkok. Dia mengklaim, otoritas Tiongkok tidak mungkin mengeluarkan izin kepada Freddy, mengingat yang bersangkutan kriminal.

"Yang terjadi faktanya penyidik dari Tiongkok datang ke Lapas Cipinang, Jakarta Timur, untuk kepentingan berkas perkara pemilik narkoba yang ada di Tiongkok. Mereka ini satu jaringan. Dia saat itu diperiksa sebagai saksi untuk berkas perkara mereka, karena pemasoknya, ditangkap. Masak dia berhalusinasi terbang ke Tiongkok. Yang benar aja," tandas Benny.

 

 

Go to top