Print this page

Belajar Budi Pekerti Lewat Serat Kalatidha

Belajar Budi Pekerti Lewat Serat Kalatidha

detaktangsel.comCELOTEH - Saiki bener-bener memaknai hakikat Serat Kalathida, karya pujangga Raden Ngabehi Ranggawarsita. Kebetulan Saiki asli keturunan Jawa. Ia berbau darah biru pula. Maka, sangat memahami dan memaknai artikulasi pesan moral yang tersurat di Kalatida.

Pitutur dan perilaku Saiki bener-bener mirip seorang negarawan meski sehari-hari hanya guru mata pelajaran menyanyi di sekolah dasar. Bila ada waktu luang, Saiki memberikan pelajaran gratis tentang pelajaran budi pekerti terhadap anak didik yang bersedia.

Ketika di hadapan lima anak didiknya, Selasa sore. Saiki menyitir bait pertama Serat Kalatida. Mangkya derajating praja, kawuyan wus suryaruri. Rurah pangrehing ukara. Karana tanpa palupi. Atilar silastuti. Sujana sarjana kelu. Kalulun kala tidha. Tidhem tandhaning dumadi. Ardayengrat dene karoban rubeda.

Lalu, Saiki menerjemahkan dalam bahasa Indonesia. Keadaan negara yang demikian merosot karena tidak ada lagi yang memberi tauladan. Banyak yang meninggalkan norma-norma kehidupan. Para cerdik pandai terbawa arus zaman yang penuh keragu-raguan. Suasana mencekam karena dunia sudah penuh masalah.

Bak air mengalir. Saiki melanjutkan memberikan pengetahuan ke anak-anak didiknya. Tanpa kenal waktu dan rasa lelah. Saiki menuturkan Ratune ratu utama. Patihe patih linuwih. Pra nayaka tyas raharja. Panekare becik-becik. Parandene tan dadi. Paliyasing kala bendu. Mandar mangkin andadra. Rubeda angrebedi. Beda-beda ardaning wong saknegara.

Kalimat dibaik kedua ini diterjemahkan dengan tekanan rendah. Saiki menginginkan anak didiknya mengenal, memahami, dan memaknai Serat Kalatidha. Anak-anak diberi penjelasan bahwa sebenarnya baik raja, patih, pimpinan lainnya maupun para pemuka masyarakat, semuanya baik. Tetapi tidak menghasilkan kebaikan. Hal ini karena kekuatan zaman kala bendu. Malah semakin menjadi-jadi. Masalah semakin banyak. Pendapat orang satu negara pun berbeda-beda.

Dasar karoban pawarta. Bebaratun ujar lamis. Pinudya dadya pangarsa. Wekasan malah kawuri. Yan pinkir sayekti. Mundhak apa aneng ngayun. Andhedher kaluputan. Siniraman banyu lali. Lamun tuwuh dadi kekembangin beka. Artinya, karena terlalu banyak kabar angin yang beredar. Akan diposisikan sebagai pimpinan. Tetapi akhirnya malah ditaruh di belakang dan dilupakan.

"Paham anak-anak!" seru Saiki kepada anak murid.

"Setengah mengerti, setengah enggak mengerti arti pesan itu, Pak Guru," kata Raka Ipho Jawirino kepada Saiki.

Saiki tentu sangat memahami. Bahkan, tidak menyalahkan anak muridnya sulit menangkap pesan Serat Kalatdha. Maklum, peserta pelajaran gratis ini rata-rata masih ingusan. Saiki tetap bertekad memberi pengetahuan tentang karya agung Ranggawarsita.

"Ya anak-anak. Bapak sangat mengerti dan memaklumi. Paling tidak, Bapak sudah berusaha memperkenalkan kepada kalian tentang bacaan bermoral. Tidak sekadar bacaan pula. Serat Kalatidha merupakan tulisan mengenai moralitas dan filsafat," kata Saiki.

"Bapak tidak memaksa dan mengharuskan kalian langsung mengerti dan memahami, apalagi memaknai. Paling tidak, kalian tahu bahwa negeri kita pernah mempunyai sosok yang cerdik."

Saiki tekun dan sabar mengarahkan anak didiknya. Harapan Saiki adalah tulisan Ranggawarsita bisa dijadikan cermin dalam menimbang hal-hal yang baik dan buruk bila kelak anak didiknya sudah dewasa. Akhirnya, mereka bisa menerima dan berserah diri pada kehendak takdir atas hal-hal yang terjadi.

Misalnya, Saiki menjabarkan satu bait lagi. Bahwa amenangi zaman edan. Ewuh aya ing pambudi. Milu edan edan ora tahan. Yen tan milu anglakoni boya kaduman melik. Kaliren wekasanipun. Ndilalah karsa Allah. Begja-begjane kang lali. Luwih bedja kang eling lawan waspada.

Kira-kira artinya mengalamu hidup pada zaman edan, memang serba repot. Mau ikut gila, hati tidak sampai. Kalau tidak mengikuti gila, tidak kebagian apa-apa. Akhirnya malah kelaparan. Namun sudah menjadi kehendak Allah. Bagaimana pun beruntungnya orang yang lupa. Masih lebih beruntung orang yang ingat dan waspada.

"Sampai di sini ya pelajaran Budi Pekertinya, anak-anak. Masih mau belajar Budi Pekerti, anak-anak? Tanya Saiki kepada anak didiknya.

"Siap, Pak. Meski sulit dimengerti dan dipahami, kami tetap ingin belajar ilmu Budi Pekerti, Pak!" seru anak-anak penuh ceria.

Saiki merasa terharu mendengar jawaban anak didiknya. Ia tidak segera beranjak meninggalk ruang belajar sepeninggal anak didiknya. Merenung, merenung, dan merenung. Tidak terasa air matanya menetes. Saiki sangat berterima kasih ada sebagian murid meski dalam jumlah sedikit mau belajar Budi Pekerti.