Print this page

Musik di Mata Sufisme

Musik di Mata Sufisme

detakbanten.com JAKARTA - Dalam tradisi sufi, musik umumnya sangat dihormati. Sama’ secara harfiah berarti “mendengarkan” (menyimak) dan dalam tradisi sufi sama’  mengacu pada pendengaran dengan hati, semacam meditasi. Ini adalah merupakan pemusatan perhatian pada melodi agar mendapatkan apa esensi dari kekuatan melodi itu dalam rasa. Di dunia Islam, ada proses panjang tentang tradisi sama’  walaupun ada juga tradisi panjang yang menentang segala bentuk musik dengan berbagai tingkatannya.

Bagi kaum sufi, hanya bisa efektif jika diposisikan pada tempat yang tepat, waktu yang tepat, dan orang-orang yang tepat pula. Waktu yang tepat adalah ketika hati pendengar terbuka dan siap mengapresiasi apa yang mereka dengar sehingga musik bisa ditampilkan setiap waktu. Tempat yang tepat tidak harus tempat yang khusus, tetapi tempat yang memungkinkan seseorang bisa menempatkan dirinya dalam bingkai pikiran yang tepat. Akhirnya, orang-orang yang tepat adalah sangat penting, ketika seseorang perlu ditemani oleh orang-orang yang telah mencapai taraf spiritual yang sama tingginya.

Beberapa orang berpendapat bahwa kondisi seperti ini tidak bersifat mutlak, sebabsama’  sangat membantu siapa pun, betapa pun mereka belum begitu canggih dan siap. Not-not dan gerakan tarian dan musik sufi diciptakan oleh mereka untuk menyerupai dasar realitas dan untuk menyembah Tuhan dengan menggunakan tubuh dengan cara-cara yang berbeda dari gerakan sholat.

Semata-mata menikmati musik dalam diri kaum sufi tidaklah memiliki nilai; musik hanya menjadi kegiatan yang berharga jika ia mempunyai tujuan yang tersembunyi. Keadaan spiritual (hal) yang dihasilkan oleh musik adalah kesadaran estetik yang lahir dari kedalaman metafisis, sedangkan nada-nada mewakili keselarasan ilahiah.

Syihab Al-Din Al-Suhrawardi membolehkan tarian jika dilakukan untuk motif yang benar karena inna al-a’ mal bi al-niyyat(tindakan itu bergantung pada niatnya). Al Ghazali juga berpendapat bahwa semata-mata karena sebuah tindakan menyerupai tindakan maksiat, orang tidak harus mencelahnya jika tindakan itu dilakukan dengan cara yang benar.

Dalam Al-Qur’an, tidak ada celaan terhadaplahw atau bathil, yang melenakan dan yang sia-sia, asalkan perbuatan itu untuk hiburan ringan yang tidak melenakan kita dari hal yang lebih penting daripada itu. Di sisi lain, perbuatan yang termasuk lahw al-hadist,yang disebut dalam surah Luqman ayat 6 sebagai perbuatan yang sama dengan “omong kosong” sulit untuk dibenarkan. Dari sudut pandang fiqih, kita harus membedakan antara dua kategori yang disebut bathil atau netral (mubah).

Kategori yang dapat ditolak adalah ketika orang menjadi begitu terpesona dengan apa yang seharusnya bukan menjadi tujuan perhatian kita sehingga perhatian kita beralih dari objek yang seharusnya menjadi tujuan perhatian kita. Mungkin tidak ada yang salah dengan hal mubah itu sendiri, tetapi keburukannya berasal dari perannya sebagai pelana, dan musik dapat dengan mudah masuk ke dalam kategori ini. Di sisi lain, relaksasi yang dihasilkan oleh hiburan seperti musik mungkin membuat kita mampu berkonsentrasi lebih baik terhadap hal yang benar-benar penting, yaitu tugas-tugas keagamaan kita.

Dengan demikian, prinsip-prinsip utama sufisme secara metodologis sejalan dengan prinsip-prinsip para penentang sufisme dalam Islam. Kedua kelompok ini percaya bahwa satu-satunya cara membenarkan sebuah kegiatan seperti musik adalah dalam hal konsekuensinya bagi agama. Kebanyakan sufi berpikir bahwa musik memperkuat keimanan, dan dalam banyak lingkungan membantu non-muslim untuk memeluk Islam. Di Eropa dan Amerika Serikat misalnya, sufisme menjadi sangat terkenal di kalangan non-muslim, dan bagi beberapa orang menjadi alasan mengapa mereka akhirnya memeluk Islam.

Wallahu a'lam bishawab

Padepokan Roemah Boemi
Pamulang
APL

Penulis : Agam Pamungkas