Legenda Nyai Jentiyah dan Asal-muasal Setu Tujuh Muara Cileduk

Ilustrasi gambar: IslamKafah.com Ilustrasi gambar: IslamKafah.com

Detakbanten.com, OPINI -- Semburat jingga meruah di pangkuan fatamorgana. Tidak biasanya seperti hari-hari sebelumnya burung-burung belibis terbang mengitari permukaan situ Cileduk. Menukik. Berkelebat lalu menghilang di balik lebatnya pohon kirai. Mencermati dalam diam. Menguntit setiap pergerakan riak-riak setu yang sepi. Senyap menyelimuti sore itu. Hanya suara desir angin yang sesekali membelai lembut setiap utas helai daun kirai.

Seekor kuda putih berkelebat kencang bagai bias kilat di permukaan setu. Ringkikkannya terdengar bak terompet sangkakala yang hendak memecahkan gendang telinga. Serta merta semua menyambutnya. Air, angin, pohon, dedaunan, sekelilingnya tiada kuasa menaruh takjub ketika seorang wanita cantik separuh baya dengan kebaya putih turun dari atas punggung kuda tersebut. Dengan busana layaknya seorang pendekar wanita itu berjalan menghampiri pinggiran setu yang hampir asat.

Sudah setahun hujan tak kunjung turun-turun. Musim kemarau yang panjang menyebabkan sebagian lahan persawahan rakyat mengalami puso. Kali-kali mengering. Tanah meretak. Aktifitas desapun lumpuh total. Rakyat kembali kepada kepercayaan semula. Ada yang bakar dupa. Ada yang mendatangi pohon-pohon besar yang dianggap keramat untuk meminta pertolongan. Ada juga yang menumbalinya dengan seekor kerbau putih. Namun sia-sia masih saja. Kemarau tetap menerjang.

Di sisi lain wanita berkebaya putih tadi terlihat mengeluarkan sesuatu dari balik jubah kebayanya yang tersingkap. Sebuah tongkat berwarna keemasan menyembur di tangannya kini. Ia terus berjalan ke pinggiran setu dengan tongkat dalam genggaman dan berhenti sejarak dua tombak dari tepi air. Mulutnya berkomat-kamit seperti sedang membacakan beberapa mantra sakti.

Tongkat yang dalam genggamannya ditancapkan kuat-kuat ke dasar air. Beberapa saat tongkat itu terlihat bergerak-gerak seperti ular. Wanita itu terus melafaskan mantranya sembari melakukan gerakan-gerakan silat. Aneh bin ajaib, tongkat tadi terpental ke angkasa dan berputar-putar mengeliilingi setu seperti membuat perintah pada sisa air yang ada.

Seiring dengan itu semua air berkumpul di tengah setu dan membentuk beberapa barisan lalu mengalir mengarah ke titik lubang bekas tertancapnya tombak wanita tadi. Lamat-lamat semua air terpendam ke dalamnya sehingga yang tersisa hanyalah hamparan tanah kering yang luas.
Wanita perkasa itu menghentikan gerakannya sesaat. Kemudian mengulurkan ke dua tangannya ke atas lalu membasuh mukanya berkali-kali. Sepertinya ia mengucap syukur pada Sang Pencipta atas kejadian yang barusan dialami.

Dengan langkah pasti ia turun di setu yang ‘tlah menjadi hamparan tanah kering itu. Setibanya di tengah setu kembali lagi wanita itu melakukan gerakan-gerakan silat sambil membaca mantra. Tapi kali ini tidak meminta air untuk berkumpul kembali. Sehingga tak heran jika alam di sekelilingnya pun menanti dengan harap-harap cemas.
Beberapa jurus kemudian seekor kuda putih berkelat kencang menuju ke arah wanita tadi. Di punggung kuda itu membawa sebuah bungkusan berwarna biru keemasan. Secepat kilat bungkusan itu disambut wanita tersebut. Dibukanya. Lalu dari dalam bungkusan terpendar kilauan tujuh batangan emas. Wanita itu kemudian memendam semua emas-emas itu ke dalam tanah dengan cepatnya. Sementara tongkat yang berputar sejak tadi terus mengawasi setiap pergerakan wanita tersebut dari atas.

Setelah semuanya usai barulah wanita itu menjulurkan sebelah tangannya ke udara. Memerintahkan tongkat itu agar kembali ke dalam jubah kebayanya. Bagai disaput angin puting beliung sang kuda pun membawa pergi wanita misterius itu dengan kencangnya.

Usai sudah aksi wanita itu di tengah setu tanpa ada yang memahami maksud dan tujuannya. Akan tetapi tanpa disadari pula olehnya seorang pemuda yang sehari-harinya menaruh bubu di setu mengamati aksinya sejak awal dari balik semak belukar. Dengan mengendap-endap lelaki itu mengitari sisi rumput-rumput liar hingga sampailah ia ke tepian setu. Matanya terus mencermati sekelilingnya. Dengan perasaan berdebar-debar lelaki itu menghampiri tempat dimana dipendamnya kepingan mas batangan oleh wanita tadi. Namun belum lagi niatnya terpenuhi tiba-tiba sebuah keanehan terjadi.
Lubang dimana tempat tertancapnya tongkat wanita misterius tadi menyemburkan air ke luar. Sedikit demi sedikit air itu menjadi banyak, kemudian terus mencakar angkasa. Lama kelamaan airpun berubah gumpalan-gumpalan awan pekat sehingga menutupi langit. Selang beberapa saat kemudian hujan turun dengan deras. Semua alam menyambutnya. Warga kampung berbondong-bondong6 keluar rumah menyaksikan kejadian alam yang ditunggu-tunggu. Hiruk pikik membahana ke lereng-lereng bukit Pemulang. Bunyi lumpang dan alu ditabuh bagai nyanyian-nyanyian sakral.

Akan alnya lelaki penaruh bubu itu. Seperti tidak perduli dengan kejadian aneh itu ia tetap saja mencanangkan maksudnya. Satu tujuan dalam niatnya yaitu bagaimana agar dapat memiliki emas-emas yang terpendam tersebut.
Di bawah guyuran hujan ia terus berusaha menggali. Satu persatu emas dapt diangkatnya keluar. Namun baru enam keping emas yang sempat dikeluarkannya, tiba-tiba air mulai memenuhi setu yang tadinya kering itu. Tak ayal lelaki itu pun berlari menyelamatkan diri setelah mengantongi enam batangan emas murni.

Setibanya di pinggiran setu lelaki itupun menoleh ke belakang. Ternyata setu yang kering tadi sudah menjadi hamparan air yang luas. Dengan perasaan gamang ia melangkah menuju rumahnya. Setiap langkah ia seret dengan sesal karena tidak dapat mengangkat semua batangan emas tersebut. Tinggal sebatang lagi yang menurutnya akan diambilnya dikemudian hari.

Beberapa minggu kemudian desa Pemulang menjadi gempar. Kehadiran sosok wanita berkebaya putih tersebut ternyata tidak hanya disaksikan oleh lelaki penaruh bubu tersebut. Wanita yang menunggangi kuda putih itu sempat juga melakukan aksi yang sama di beberapa tempat. Sehingga tidak heran jika hal itu menjadi obrolan segar setiap warga di warung kedai, pasar dan tempat-tempat keramaian lain.

Mi’an, lelaki penaruh bubu di setu itupun mulai gusar. Takut jangan-jangan hasil jarahan emasnya terbongkar oleh warga. Setiap kali ia mendengar orang membicarakan soal wanita misterius itu, semakin gelisah pula perasaan hatinya. Akhirnya ia memutuskan untuk memendam kembali emas-emas tersebut. Ia berharap kelak jika orang sudah tidak lagi membicarakan wanita misterius itu, emas-emas tersebut akan diambilnya kembali untuk dijual.

Selepas subuh Mi’an membenahi semua batangan emas yang dijarahnya. Dimasukan emas-emas tersebut ke dalam satu buntalan sarung. Seperti biasa warga tak satupun menaruh curiga dengan tingkah laku Mi’an yang berangkat di pagi hari. Semua orang memahami akan pekerjaan yang ditekuninya sekian tahun itu. Lagipula tak satu pun warga yang mengetahui latar belakang keluarganya. Yang mereka tahu Mi’an bukanlah warga asli Pemulang. Ia berasal dari kampung seberang yang hingga kini masih tetap hidup membujang.

Maka sampailah Mi’an di tengah hutan yang tidak berapa jauh dari setu dimana ia pertama mengambil emas tersebut. Hal itu ia lakukan agar tidak sulit untuk menandai dimana letak ia memendam emas-emas tersebut. Namun dalam hatinya ia sempat berpikir. Jika emas-emas tersebut dipendamnya dalam satu lubang, bagaimana jika ada yang menemukannya? Alangkah beruntungnya orang tersebut. Dalam sekali menggali, enam batang emas dapat diambilnya. Tidak! Kata hatinya. Emas-emas ini akan aku pendam di enam lokasi yang beda. Agar orang tidak dapat menemukan semua! Demikian kata hatinya.

Mulailah ia membuat lubang sedalam satu meter. Emas pertama telah berhasil dipendamnya. Kemudian ia mencari tempat yang lain lagi untuk memendam emas-emas berikutnya. Ketika hari menjelang siang semua emas telah berhasil dipendam olehnya. Biar lebih memastikan lagi ia menutupi bekas galiannya dengan dedaunan dan rumput liar agar tak satupun orang yang mengetahuinya.

Dengan perasaan lega Mi’an mengusap keringat. Tugasnya sudah selesai. Sekarang ia akan kembali pada pekerjaan semula yakni menaruh bubu di setu.
Dan ketika ia hendak menuju setu, di tengah perjalanan beberapa kali ia mengalami kejadian-kejadian aneh. Perasaannya dihantui ketakutan yang amat sangat. Sepertinya ada yang terus mengawasi dirinya dari belakang. Mi’an mencoba berhenti sejenak sekadar menenangkan degup jantungnya yang terus berdetak kencang.

Tiba-tiba di depannya seekor ular raksasa melintas membelah jalan. Panjang ular tersebut sekitar sepuluh meter. Beberapa saat kemudian disusul dengan gemuruh angin yang kencang. Pohon-pohon yang ada di sekelilingnya menjadi tumbang. Mi’an berpegang erat pada sebatang pohon yang tersisa. Lamat-lamat angin pun berhenti mengamuk. Seiring dengan itu suara petir menggelegar keras yang dibarengi dengan suara ringkikkan kuda.

Dalam keadaan setengah sadar Mi’an melihat di depannya telah berdiri seorang wanita cantik dengan kebaya putih. Di samping wanita itu seekor kuda putih terlihat sigap dengan tugasnya. Wanita itu menghampiri Mi’an dengan senyum kewibawaan, Mi’an merasa dirinya belum begitu kuat untuk berdiri. Wanita cantik itu menuntun Mi’an untuk berdiri lalu bertanya padanya:

“Maaf, saudara ini sebenarnya siapa?”

“Ampun Nyai, nama sayah Sami’an.” jawab Mi’an dengan gugup. Wanita itu berjalan mengelilingi Mi’an dan bertanya kembali, “Saudara dari mana dan hendak kemana?” Mi’an semakin gugup ketika pertanyaan itu ditujukan baginya. “Sayah dari rumah dan hendak ke setu menaruh bubu ini, Nyai.”

“Bukan itu yang sayah maksud. Sebelum saudara ke setu menaruh bubu itu, saudara dari mana?” Tanya wanita itu dengan paras yang teduh.

“Ampun, Nyai. Kalau boleh sayah tahu, Nyai ini siapa dan dari mana? Dan hendak ke mana?”

Wanita itu tersenyum tipis. “Nama saya, Jentiyah. Masyarakat di desa ini menjuluki sayah dengan sebutan, Ibu Pemulang. Tapi itu terserah mereka. Bagiku tidak penting. Yang terpenting bagi sayah adalah membuat masyarakat di sini menjadi tentram, aman, gemah ripa loh jinawi.”

Mendengar perkataan wanita itu Mi’an merasa penasaran lalu;
“Eee…”
“Tunggu dulu, (wanita itu menyela pembicaraan Mi’an) saudara belum menjawab pertanyaan sayah tadi.”

“Benar Nyai, sayah benar benar dari rumah dan hendak ke setu menaruh bubu-bubu ini.” Jawab Mi’an sembari menunjukan bubu yang tersimpan dalam keranjangnya.

Wanita itu kemudian memerintahkan kuda tersebut untuk pergi sejenak. Dalam sekejap mata kuda itu telah kembali dan membawa enam keping emas. Alangkah terkejutnya Mi’an ketika wanita itu bertanya kepadanya.

“Ini apa? Siapa yang menanam emas-emas ini di hutan itu. Dan, dari mana ia memperoleh emas-emas ini?”

Akhirnya Mi’an tak kuasa menyembunyikan kebohongannya. Dengan perasaan ketakutan Mi’an menceritakan kepada wanita tersebut kejadian sesungguhnya.

“Ampun NYai, sayah memang yang menanam emas-emas tersebut di hutan itu. Sayah mengambilnya dari tengah setu ketika sayah memergoki Nyai sedang memendam emas-emas itu.”

“Apa maksudmu menjarah benda-benda yang sayah pendam itu. Bukankah emas-emas itu bukan milikmu? Akan engkau apakan emas-emas itu wahai lelaki serakah!” wanita itu bertanya dengan penuh tekanan.

“Ampun Nyai, sayah hidup sebatang kara. Saya tidak punya sanak saudara di kampung ini. Pekerjaan sayah pun hanya sebagai pencari ikan di setu dengan cara menaruhkan bubu-bubu ini.”

“Sayah prihatin dengan kehidupanmu. Tapi tidakkah engkau tahu, dengan cara menaruh bubu-bubu tersebut ada banyak ikan kecil yang ikut terbunuh. Jika semua ikan ikut terbunuh, di masa yang akan datang, ikan-ikan di mana lagi yang hendak kau bubuhi.” Tanya wanita itu dengan nada yang lebih tinggi.

“Sekarang, emas-emas yang sayah pendam ke dalam setu yang kelak akan sayah wariskan kepada cucu-cucu masyarakat di desa ini pun ikut engkau jarah.” Lanjut wanita itu kemudian.

“Jika keinginanmu seperti itu, baiklah. Sayah akan mengembalikan semua emas-emas ini ke tempat dimana engkau memendamnya semula.

Tapi satu hal yang harus kau ingat. Pada suatu kelak nanti anak-anak cucumu akan saling memperebutkan kembali emas-emas tersebut dengan cara sepertimu. Bahkan lebih kejam lagi. Mereka akan memperebutkan emas-emas itu dengan cara mengorbankan banyak pihak demi kepentingan pribadinya.

Ada banyak alasan yang akan mereka gunakan untuk memperoleh emas-emas tersebut. (tegas wanita itu kemudian) Sehingga mereka baru akan sadar ketika mengetahui kalau ternyata emas-emas tersebut tersisa tinggal beberapa keping saja. Karena sebagian sudah bukan menjadi milik mereka.”

Sehabis berucap demikian wanita itu pun meloncat ke atas kuda dan menghilang dengan cepat.

Kini tinggalah Mi’an sendiri dalam kegamangannya. Dengan rasa penasaran yang kuat ia berlari ke dalam hutan untuk membuktikan kebenaran cerita wanita misterius tadi. Dalam hatinya ia berpikir. Benarkah wanita misterius itu akan mengembalikan kembali emas-emas tersebut ke tempat aku memendamnya? Jika benar, alangkah bijaknya wanita tersebut.

Setibanya di hutan ia menggali satu per satu lubang yang digalinya semula. Namun sudah hampir satu meter ia menggali, emas yang dimaksud oleh wanita tadi belum juga ditemuinya. Malahan semakin dalam ia menggali lubang itu, semakin banyak pula mata air yang ia temukan dari dalam lubang itu.

Akhirnya ia mencoba untuk pindah ke lubang yang satunya lagi. Sama juga hasilnya. Yang ia temui hanyalah mata air dan mata air. Begitu seterusnya hingga lubang yang ke enam, tetap saja sumber mata air yang ia dapati.

Akhirnya Mi’an memutuskan untuk kembali ke setu dimana pertama kali ia menggali emas-emas tersebut. Menurutnya masih ada tersisa satu batang emas lagi di sana. Namun ketika ia hendak menyeburkan diri ke dalam setu, tiba-tiba ia melihat ada beberapa setu di sekelilingnya. Ternyata enam buah lubang yang digalinya tadi telah membentuk enam buah setu. Dan kini setu-setu itu telah bergabung dengan induknya semula sehingga yang terlihat oleh Mi’an adalah tujuh buah setu.

Dalam kepanikannya ia sulit memastikan dimana setu yang menyimpan batang emas itu lagi. Setelah melakukan berbagai usaha ia tetap gagal, akhirnya dengan perasaan menyesal ia memohon ampun kepada Dewata agar perbuatannya diampuni. Ia berjanji untuk tidak melakukan lagi perbuatannya yang merugikan orang banyak. Ia mengutuk dirinya berkali-kali sembari merenungi apa yang telah ia lakukan adalah salah.

Hari mulai sore. Dari balik gunung Salak sekawanan belibis terbang berbaris secara horizontal menuju situ Tuju Muara Cileduk. Suaranya riang meningkahi helai-helai daun kirai yang basah. Kemudian senyap berganti suara nyanyian kodok yang riuh.
Mi’an pun kembali ke rumahnya dengan mengantongi sejuta keraguan di hati. Bagaimana jika kelak omongan Nyai Jentiyah mengenai anak cucunya yang akan memperebutkan emas-emas tersebut terbukti benar? Ia hanya bisa pasrah pada Pencipta semoga itu hanyalah kebetulan semata.

T A M A T

Note : Demikian legenda Nyai Jentiyah dan legenda Asal-muasal Setu Tujuh Muara Cileduk Pamulang yang kini tinggal kita temui dibeberapa lokasi saja. Benarkah omongan Nyai Jentiyah terbukti?
Cerita ini hanyalah sebuah fiksi semata.
Hanya penulis ingin mengajak kepada pembaca yang budiman, marilah kita belajar dari hikmah yang terkandung dalam isi cerita ini. Semoga bermanfaat bagi dongeng menjelang tidur anak-anak cucu kita ke depannya. Aamiin.

“Padepokan Roemah Boemi Pamoelang”
03 Sept’2003

Oleh: Agam Pamungkas Lubah

 

 

Go to top