Kimpo, Sahabat Merah Putih

Kimpo mencium bendera Merah Putih terpanjang 3.522 Meter seaat akan dikibar.(Ten) Kimpo mencium bendera Merah Putih terpanjang 3.522 Meter seaat akan dikibar.(Ten)

detakbanten.com, CELOTEH - Kimpo memelukku penuh hangat. "Doakan ya," katanya. Air mataku tak bisa kubendung lagi saat membalas pelukanya.

"Ya. Insya Allah sukses. Baca bismillah tiga kali sebelum melangkah, " kataku. Semalam aku memang menginap menemani lelaki bertubuh kurus itu di saung karena permintaanya.

Kulihat wajahnya berseri meski belum tidur dua hari dua malam. Dengan batik warna coklat kesukaan dan kopiah hitam kebanggaan, ia berdiri di depan saung. Kepalanya tertunduk khusu' berdoa. Lalu matanya kembali menatap ke depan dan melangkah tegak gagah meninggalkan saung seperti seorang lelaki yang hendak maju ke medan perang.

Sepanjang pagi itu saya terus berdoa semoga upacara yang digagas dan dipeloporinya berjalan sukses serta tujuannya ingin menyatukan warga kota dalan balutan bendera merah putih di Hari Kemerdekaan RI yang 77, bisa tercapai.

Aku tiba di tempat acara agak siang, sementara ia berangkat dari kantor kecamatan ke lokasi upacara sambil ikut pawai.

Barisan kursi-kursi di bawah tenda sudah terisi oleh para tamu kehomatan. Semua pejabat kota dan tokoh daerah hadir.

Aku duduk di antara tamu itu menunggu ia datang. "Sudah jalan pawainya?. Sampai mana?" kataku kepadanya via phone." "Sebentar lagi nyampe," sahutnya dari ujung telpon.

Ia sengaja ikut pawai jalan kaki bersama warga sepanjang kurang lebih empat kilo meter. Diiringi oleh kelompok warga yang masing- masing membawa bendera bertiang bambu sebanyak hampir 2000 bendera.

Aku duduk menunggu. Berharap ia datang bersama bendera-bendera itu. Saat tiba kulihat wajahnya kian pucat berkeringat; tampak letih. Ia pun duduk di barisan kursi paling depan diapit oleh para pajabat kota.

Saat acara di mulai, satu persatu para pejabat memberi sambutan. Aku tak begitu kenal mereka, kecuali seorang camat dan walikota yang menyebut namanya dalam sambutanny, yang lain tidak.

Sambil duduk menyaksikan para pejabat berpidato, aku masih menunggu, berharap kapan ia maju melangkah memberi sambutan seperti yang lain. Atau dipanggil oleh walikota dan camat maju ke depan, diperkenalkan kepada pengunjung.

Sampai acara seremoni berakhir pembawa acara tak memanggilnya. Tak ada panggung terbuka untuknya.

Kembali rasa sedih menyesak di dada, bagaimana bisa seorang penggagas dan pelopor yang begitu banyak berkorban tak mendapat panggung di ruang itu. Bagaimana mungkin mereka bisa seenaknya saja naik ke atas panggung tanpa keringat satu tetespun untuk acara itu. Tapi, ah sudahlah..!

Saat giliran bendera sepanjang 3.522 meter akan ditarik, ia maju ke depan membuka kotak peti bendera. Sehari sebelumnya ia pun membuat ritual khusus saat memasukan kain bendera ke dalam peti.

Ia mencium kain bendera itu penuh khidmat sebelum bendera ditarik berkeliling. Orang-orang ikut menarik bendera termasuk pejabat kota. Ia terus berjalan kencang di barisan terdepan menarik bendera. Semenrara para pejabat langsung menyerah, hanya kuat beberapa langkah kaki saja.

Keringatnya makin mengucur deras membasahi wajah dan sekujur tubuh. Baju batik yang ia kenakan basah kuyup.

Kimpo atau Suhanda Djohan, nama lelaki itu begitu mencintai bendera merah putih. "Seluruh kain dan tiang bendera biar dari uang dan keringat saya saja. Saya gak mau disumbang. Yang lain terserah," katanya suatu malam dua hari sebelum acara pengibaran dimulai.

Meskipun kenyataannya, bukan hanya untuk bendera ia keluar duit dan peluh begitu banyak. Hampir tiap hari pula orang-orang berkumpul di saungnya ikut merokok, makan, ngopi, dan minta apa saja untuk beli ini dan itu bagi keperluan upacara pengibaran bendera. Entah berapa banyak uang yang sudah ia keluarkan, tak ada yang tahu dan ia pun tak ingin ngasih tahu pula.

Aku lebih dulu pulang ke saungnya sebelum acara usai, semenrara ia masih terlihat sibuk mengatur bendera.

Sore hari, aku duduk di teras saung menunggu ia pulang. Menjelang maghrib tiba, Kimpo datang bersama Barkah (pegawainya) dibonceng motor vespa tua. Wajahnya pucat pasi dan langkahnya gontai sempoyongan. Aku sambut dengan uluran tangan. Begitu masuk saung dan membuka sepatu, tubunya langsung ambruk ke atas kasur lusuh tanpa seprei. Ia benar-benar tumbang. Badannya menggigil kedinginan. "Anak-anak" asuhnya kemudian menyelimuti dan memijit kaki dan tubuhnya. Aku coba buatkan ramuan jahe dan madu yang dicampur teh panas.

"Tolong jaga ia ya," kataku kepada anak anak muda yang sedang memijitnya.Suaraku parau menahan sedih, karena harus meninggalkan ia di saung dalam kondisi sakit. Sementara aku ada tugas lain sedang menunggu. (Mr. Ten)

 

 

Go to top

Joomla! Debug Console

Session

Profile Information

Memory Usage

Database Queries