Usia 17 Tahun

Usia 17 Tahun

KETIKA menginjak usia 17 tahun, Anton, teman sepermainanku merasa bangga setengah mati bisa menggunakan hak politiknya untuk kali pertama pada Pemilu Legislatif dan Presiden, lima tahu lalu. Dirinya merasa dewasa punya hak memilih, dipilih, dan pantas ikut nimbrung (baca, ngumpul) diskusikan isu carut marut perpolitikan nasional.

Tanpa mewakili partai politik mana pun. Tanpa menggantongi visi dan misi ideologi apa pun dan kelompok kritis satu pun, Anton berbicara bebas dan blak-blakan. Hantam 'kromo' semua garis perjuangan peserta Pemilu saat itu.
Anton tidak pandang bulu, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Golkar, PPP maupun PKB. Tidak luput pula Partai Keadilan Sejahtera. Semua dicap pembohong. Semua partai politik peserta Pemilu 2014 dianggap cuma bisa ngecap, cuap-cuap atawa membual.


Aku tercengang kenapa sikap dan pemiliran Anton kok liar terhadap kiprah partai politik. Padahal dia termasuk anak bawang, anak masih bau kencur menggeluti sepak terjang partai politik, termasuk dalam mengapresiasi perilaku politik kalangan elit politik
"Sok tahu elu, ton," tegur Tjahjo.
"Hati-hati ngomong. Jangan main tuding, apalagi seenak hati aja nilai orang. Fitnah lho, nanti elu diciduk polisi. Dikira provokasi," Tardjo mengingatkan.


Merasa disalahkan, Anton tidak tinggal diam. Putra bungsu mantan petinggi Partai Nasional Indonesia di masa Orde Lama pimpinan Bung Karno ini nyerocos. Agar tidak dianggap provokator, Anton mendekati Tardjo.
"Kamu yang sok tahu, Jo. Biar baru direkomendasi oleh amanat konstitusi untuk menggunakan hak politik untuk ikut nyoblos, gue kagak bodoh-bodoh amat soal konstelasi politik nasional."


Kayak udah pengalaman, Anton menuangkan pemikirannya sangat liar.
"Kalo gue menilai sejumlah elit Partai Golkar bobrok, bukan berarti menjelek-jelekkan. Bukan mendiskreditkan. Gue ngomong apa adanya. Asal tahu aja kamu, Jo. Bukan jadi rahasia bahwa Partai Golkar itu warisan rezim Orde Baru, Soeharto. Meski berubah paradigma seperti dideklarasikan semasa Akbar Tandjung, Golkar tetap Golkar. Ibarat monyet biar berdasi tetap monyet."

"Gue kagak ngerti. Pemikiran elu makin gila. Coba kasih analogi yang masuk akal. Tidak usah bawa-bawa monyet segala."


Perdebatan antara Anton dan Tardjo di warung Indo Mie Kang Kosasih di kawasan Jalan Kemiri, Pondok Cabe, itu cukup menarik perhatian. Malah, Kang Kosasih sekali-kali menimpali. Namun, nadanya ngompori. Tentu, diskusi tanpa mengagendakan pokok permasalahan itu tambah panas meski turun hujan cukup deras.
Sambil mengisap rokok, Anton menarik napas panjang. Entah apa maksudnya enggak ada yang tahu, kecuali Anton sendiri. Juga menggeleng-gelengkan kepala.


Anton mulai mengatur nada suaranya agar tidak dicap liar. Menyitir pernyataan pengamat politik. Hampir tidak ada satu pun negara menentang asas demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sekalipun jika satu negara tidak menganut dan mengakomodir asas demokrasi tetap mengklaim dirinya sebagai negara demokratis.


Enggak kenal titik dan koma, Anton bak Guru Besar saat beri kuliah umum kepada mahasiswa. Bahwa pada hakikat kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, pemilihan umum atau (Pemilu) berkolerasi dengan praktik politik. Secara tidak langsung maupun langsung, asumsi ini menjadi implikasi kehidupan demokrasi dalam menghadapi gagasan, ideologi atau rezim lainnya.


Padahal, cerita Anton, sesungguhnya demokrasi bukan satu tatanan sempurna yang mengatur perikehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Sejarah di manapun menunjukkan, bahwa demokrasi menjadi model atau sistem kehidupan bernegara.


Sepanjang masa, gagasan dan rezim demokrasi hadir sebagai 'komoditi' politik. Makanya, praktik demokrasi selalu berkonotasi dengan Pemilu. Tidak heran bila Pemilu diklaim sebagai pesta demokrasi. Bahkan, Pemilu menjadi syarat utama demokrasi.
Tidak ada satu negara mana pun yang menganut asas demokrasi yang tidak melaksanakan Pemilu secara reguler. Untuk itulah, penyelenggaraan Pemilu memerlukan jaminan konstitusional. Sehingga tidak ada pihak yang mencoba-coba untuk mengabaikan atau melupakannya.


Ada kesalahan tafsir seolah Pemilu bagian yang tidak terpisah dari ekspresi perilaku politik masyarakat bebas memilih calon pemimpin. Yang sesungguhnya, Pemilu 'jembatan emas' untuk menjaring, memilih, dan melahirkan pemimpin yang kapabel, akuntabel, serta cerdas.
"Tahu enggak, elu Jo!"
"Pemilu juga sebagai sarana untuk menilai kinerja pemimpin dan menghukum jika kinerja dan kelakuannya buruk. Dus, para pemimpin rakyat yang menjadi anggota badan perwakilan rakyat maupun yang menduduki jabatan pemerintahan, punya tanggung jawab politik dan moral melaksanakan kedaulatan rakyat.


Aku, Tardjo juga pendengar setia lainnya, termasuk Kang Kosasih, heran. Bocah seperti Anton mampu mempunyai wawasan politik seluas itu. Meski terkadang sulit dipahami gara-gara dialek bicaranya, cadel, mau tidak mau, pandangan politik Anton patut diacungi jempol.


"Ton, elu dapet dari mane ilmu politik sedahsyat itu?" aku bertanya kepada Anton tanpa malu.
Harus diakui sahabatku ini memang memahami dan punya kemampuan membaca konstelasi politik nasional meski sebagai pemilih pemula. Betapa tidak hebat, Anton bisa tahu jejak berpijak partai politik peserta Pemilu lima tahun lalu. Emang semula teman-teman sepelekan dan mengecap Anton sebagai 'Mister You Know" (Baca: Mister Sok Tahu).


Begitu Anton ceritain latar belakang kedua orangtuanya. Tentang relasi, bahkan jejak berpijaknya secara gamblang, aku maupun Tardjo makin kagum ame Anton.
"Jadi bokap ame nyokap elu Soekarnoisme donk, Ton," tanyaku.
"Iye. Tapi, bukan berarti pengikut Megawati ."
"Lho kok bise. Emang kenape."
"Gue jadi penasaran dan heran. Megawati kan pewaris sekaligus penyambung lidah Soekarno."


"Itu pandangan orang-orang awam. Walau punya hubungan darah, Megawati bukan Soekarno. Karena Bung Karno adalah anak bangsa pada zamannya. Sedang Megawati putri Bung Karno. Paham elu, Man?"
"Enggak, Ton!" Aku sambil menggelengkan kepala.
"Anak asli Bung Karno adalah ajarannya 'Marhaenisme'. Anak Bung Karno ini tidak pernah mati kecuali akhir zaman. Jadi siapapun akan menjadi pewaris Bung Karno sepanjang mampu menjabarkan dan mengaktualisasi 'Marhaenisme secara utuh dan benar."


"Oooh begitu. Berarti Megawati bukan murid sejati, apalagi pewaris tunggal ajaran Bung Karno kalo begitu."
"Nah, elu paham gitu, Man. Ya, kira-kira begitulah."
Usai menengguk wedang jahe, Anton kembali menggambarkan keberadaan sekaligus kiprah partai politik yang lahir di Orde Refornasi. Semua berlomba menghidupkan basis politik yang pernah hidup dan dimatikan di Orde Lama. Juga yang hidup di Orde Baru disukabumikan rezim Orde Baru.


Malu-malu kucing. Basis Masayumi ganti bulu, Partai NU merenkarnasi. Begitupun sejumlah partai politik lainnya, seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.
Suara bedug dan adzan Subuh di surau mulai terdengar. Diskusi kelas Warkop (warung kopi) diakhiri. Kang Kosasih tetap sibuk memasak mie instan dan meladeni pelanggannya yang pesan kopi mix. Aku, Anton, dan Tardjo pamitan ame Kang Kosasih. Lalu, aku bersama Anton bergegas ke masjid untuk menunaikan salat Subuh.


Sementara Tardjo langsung pulang dan salat Subuh di rumah. Biasa, penganut ajaran Muhammadiyah ini selalu salah berjamaah bersama anak istrinya. Karenanya, ia jarang melaksanakan kewajibannya sebagai pengikut Rasulullah Nabi Muhammad SAW ini di surau atau masjid.

 

 

Go to top

Joomla! Debug Console

Session

Profile Information

Memory Usage

Database Queries