Politik Tanpa Alur SBY

Politik Tanpa Alur SBY

derinoOleh : Derio Adzani Moekti
Mahasiswa UIN Syarief Hidayatullah Jakarta

detaktangsel.com - Kemenangan Partai Demokrat yang digawangi Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai Ketua Dewan Pembina merupakan cermin dari runtuhnya dikotomi aliran politik jika dilihat dari aspek parpol pendukungnya. Karena sejak awal pencalonannya SBY di dukung oleh parpol yang relatif plural dan menepikan aliran dan ideologi politik.
Sementara dilihat dari konfigurasi dukungan itu, fenomena politik menunjukkan adanya nomadenisme politik (political nomadenism) atau perpindahan dari ikatan aliran dan ideologis ke dalam satu titik kepentingan politik untuk mendukung dan mengusung SBY menjadi presiden. Artinya, kernenangan kubu SBY dalam Pemilu Legislatif sesungguhnya merupakan cermin dari telah mapan dan tingginya tingkat rasionalitas politik publik.
Menjelang Pemilu Presiden, gerakan kubu SBY untuk memenangkan pertarungan melahirkan politik tanpa alur (politics without cliches). Di mana kita telah diperlihatkan oleh adanya fenomena akan gejala bertemunya aliran dan ideologi politik dalam satu bingkai kepentingan, yakni lahirnya presiden baru yang dapat melakukan perubahan tanpa menghiraukan asal-muasal dan dikotomi aliran politik.
Lahirnya politik tanpa alur ini, menurut Daniel Bell dalam bukunya berjudul The End of Ideology: On The Exhaustion of Political Ideas in the Fifties (1962), biasanya dapat terjadi bila suatu aliran politik tidak dapat hidup pada puncak kebesaran. Tidak dapat pula mempengaruhi kebijakan politik suatu bangsa dengan alirannya. Sehingga pada saat yang bersamaan akan terjadi kecenderungan aliran dan ideologi itu melebur dalam satu titik mendekati kesamaan kepentingan.
Sedangkan meminjam istilah Jean Bethke Elshtain, politik tanpa alur (politics without cliches), kita juga bisa menyikapi berbagai masalah baru tanpa prakonsepsi dan tanpa distorsi ideologis. Kita dimungkinkan untuk berpikir tentang prinsip dasar dan tujuan akhir tanpa kekakuan partisan.
Ini adalah jalan realistis, di mana akhir ideologi atau setidaknya titik perjumpaan ideologi-ideologi. Berbagai ideologi semacam komunisme, eksistensialisme, atau keyakinan agama ingin hidup pada titik ekstrem tertentu dan mengritik manusia biasa karena gagal untuk hidup pada puncak kebesaran.
Orang akan berusaha melakukan itu jika terdapat kemungkinan sejati bahwa momen selanjutnya memang benar-benar ada. Sebuah momen perubahan muncul ketika penyelamatan atau revolusi atau hasrat sejati mampu diraih. Namun, semua itu adalah ilusi. Yang ada di depan kita hanyalah kehidupan sehari-hari yang sama sekali tidak heroik. Makanya, sudah saatnya kita memasuki politik yang rasional. Namun, elit politik negeri di aras lokal atau nasional lebih sibuk merebut dan kekuasaan dalam Pemilu. Akhirnya rakyat pun kehilangan arah menghadapi berbagai problem kehidupan sosial, ekonomi, dan politik.
Demokrasi pun kerap dipertanyakan karena dianggap bukan resep yang mujarab untuk mengatasi krisis. Ia hanya menjadi pembenar bagi sifat kekuasaan yang semakin korup. Bahkan, bagaikan ekspresi kebebasan tanpa batas dan penindasan terus-menerus oleh yang kuat terhadap yang lemah hingga mewabahnya sikap etnoreligius yang secara terang-terangan mengendarai kereta demokrasi.
Dalam antusiasme terhadap kedaulatan rakyat, kita seringkali lupa bahwa kedaulatan hanya benar-benar demokratis bila mengakui batas-batas yang diidentifikasi berdasarkan pada penghormatan kita terhadap pluralitas kepentingan dan identitas dalam masyarakat. Demokrasi sebagai sistem dan budaya politik untuk menghormati keadilan, kesetaraan, kejujuran, melindungi pluralitas masyarakat dan secara damai menyinergikan keumuman dan perbedaan lintas masyarakat.
Virgina Held (etika Moral, 1989 106-123) secara panjang lebar membicarakan sistem hukum dan politik dari sudut pandang etika dan moral. Ia melihat perbedaannya dari dasar pembenaran.
Dasar pembenaran deontologis pada khususnya merupakan ciri dan layak bagi sistem hukum. Sedangkan dasar pembenaran teleogis pada khususnya ciri dan layak bagi sistem politik. Argumentasi deontologis menilai suatu tindakan atas sifat hakikat dari tindakan yang bersangkutan. Namun, argumentasi teleogis menilai suatu tindakan atas dasar konsekuensi tindakan tersebut.
Apakah mendatangkan kebahagiaan atau menimbulkan penderitaan? Benar salahnya tindakan ditentukan oleh konsekuensi yang ditimbulkannya, tanpa memandang sifat hakikat yang semestinya ada pada tindakan itu.
Sistem hukum, menurut Held, lebih lanjut memikul tanggung jawab utama untuk menjamin dihormatinya hak dan dipenuhinya kewajiban yang timbul karena hak yang bersangkutan. Adapun sasaran utama sistem politik ialah memuaskan kepentingan kolektif dan perorangan. Meskipun sistem hukum dan sistem politik dapat dibedakan, dalan bebagai hal sering bertumpang tindih.
Makanya, para elit tidak seharusnya tidak mengadakan perselingkuhan politik dalam melahirkan pemimpin dalam bentuk koalisi. Sehingga sang pemimpin tidak menjelma menjadi budak kekuasaan.
Transformasi politik di tubuh partai sangat mungkin akan membuka pintu terciptanya transformasi politik pada lingkup yang lebih luas, yaitu transformasi politik pada level politik lokal. Tentu saja ini bukanlah sesuatu yang otomatis terjadi jika para aktor politik tidak menyandang integritas, kapabelitas, dan karakter.
Kita sangat sependapat bahwa wajah partai dan politisi partai bisa jadi merupakan bagian dari karut-marut wajah bangsa. karut-marut wajah partai dan wajah bangsa itu adalah sebuah hasil proses sejarah panjang bangsa kita karena tidak adanya pendidikan politik yang berkualitas, khususnya sepanjang Orde Baru.
Dalam konteks tidak adanya pendidikan politik selama ini, kita lalu bisa memahami mengapa terjadi, tidak hanya merosotnya etika dan moralitas politik. Tetapi juga mengapa loyalitas kepada pemimpin di pusat begitu kuat. Selain faktor strategi parpol demi kepentingan bangsa dan daerah tertentu, harus kita akui bahwa di tengah tidak adanya pendidikan politik yang sehat selama ini, memang budaya politik kita di Indonesia masih budaya politik tradisionalisme.
Dalam budaya politik yang tradisional itu memang figur pemimpin dan kharisma jauh lebih kuat dan menentukan daripada segala mekanisme dan prosedur formal yang demokratis dan profesional. Visi dan platform belum benar-benar menentukan, terutama juga karena memang belum ditunjang oleh kader yang mampu dan profesional untuk mewujudkan visi dan platform calon presiden.

 

 

Go to top

Joomla! Debug Console

Session

Profile Information

Memory Usage

Database Queries