Dewan Pers: Pentingnya Integritas Pers Hadapi Kontestasi Politik

Anggota Dewan Pers Yadi Hendriana dalam sesi diskusi virtual 'Refleksi Akhir Tahun 2022  Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) secara daring. Anggota Dewan Pers Yadi Hendriana dalam sesi diskusi virtual 'Refleksi Akhir Tahun 2022 Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) secara daring.

Detakbanten.com, JAKARTA - Anggota Dewan Pers Yadi Hendriana menyebut perlunya integritas pers menghadapi tahun politik. Integritas itu bisa diimplementasi dengan terus menjunjung tinggi kode etik jurnalistik dan regulasi yang ada.

"Pentingnya menjaga integritas pers menghadapi kontestasi politik. Bagaimana kualitas pers menghadapi intervensi itu, ya karena tak semua awak pers di kita profesional," ujar Yadi, dalam Refleksi Akhir Tahun 2022 Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) secara daring, Selasa (27/12/2022).

Diakui Yadi, kualitas profesional itu menjunjung tinggi kode etik dan regulasi yang ada di Dewan Pers. “Ini sesuai prinsip-prinsip jurnalisme yang bertanggung jawab," katanya.

Pihaknya turut menyinggung terkait jurnalisme positif dalam kontestasi politik. Di antaranya, harus mampu memberi pilihan kepada publik, sehingga masyarakat bisa memilih pilihan politik secara tepat.
"Itu fungsi dari jurnalisme. Artinya, jurnalisme nggak melulu memberitakan fakta-fakta yang ada tanpa ada maksud, tapi maksud publik seperti apa," tukasnya.

Ia juga seraya membahas KUHP yang disahkan 6 Desember 2022 lalu. Menurutnya, ada 19 pasal dari beberapa kluster berpotensi merobek kebebasan pers.

Yadi, bersama anggota Dewan Pers lain, telah menguji beberapa pasal itu dengan sejumlah lembaga. Mulai dari Kejaksaan Agung, kepolisian, dan Mahkamah Agung. Hasilnya, KUHP yang disahkan berpotensi mengkriminalkan jurnalis.

"Pasal itu bisa dimainkan. Kita khawatir, justru ini bagaimana tantangan kita harus betul-betul membuat pemerintah yakin bahwa di 19 pasal itu mengganggu kebebasan pers," ungkapnya.

Lantas, ia menganalogikan sebuah media membuat karikatur kepala negara. Ini sebagai wujud kritik terhadap pemerintah. Tetapi, di KUHP baru itu, diduga sebagai wujud penghinaan terhadap kepala negara.

 

 

Go to top